Daerah Aceh yang terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abad lampau. Aceh sering disebut-sebut sebagai tempat persinggahan para pedagang Cina, Eropa, India dan Arab, sehingga menjadikan daerah Aceh pertama masuknya budaya dan agama di Nusantara.[1]
Aceh yang mula-mula bernama Aceh Darussalam (1511-1959) selanjutnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) dan menjadi provinsi Aceh (2009-sekarang) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue. Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara.[2]
[1]http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/11/nanggroe-aceh-darussalam diakses tanggal 15 April 2013
[2]http://seuramoe.acehprov.go.id/about diakses tanggal 23 April 2013
Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur, Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 71.680 km².
Sumatera Utara pada dasarnya dapat dibagi atas:
Pesisir Timur
Pegunungan Bukit Barisan
Pesisir Barat
Kepulauan Nias
Pesisir timur merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya. Pada masa kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini termasuk residentie Sumatra's Oostkust bersama provinsi Riau.
Di wilayah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di pegunungan ini terdapat beberapa wilayah yang menjadi kantong-kantong konsentrasi penduduk. Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir, merupakan daerah padat penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada danau ini.
Pesisir barat merupakan wilayah yang cukup sempit, dengan komposisi penduduk yang terdiri dari masyarakat Batak, Minangkabau, dan Aceh. Namun secara kultur dan etnolinguistik, wilayah ini masuk ke dalam budaya dan Bahasa Minangkabau.
Batas wilayah
Utara
Provinsi Aceh dan Selat Malaka
Selatan
Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Barat, dan Samudera Indonesia
Barat
Provinsi Aceh dan Samudera Indonesia
Timur
Selat Malaka
Terdapat 419 pulau di propisi Sumatera Utara. Pulau-pulau terluar adalah pulau Simuk (kepulauan Nias), dan pulau Berhala di selat Sumatera (Malaka).
Kepulauan Nias terdiri dari pulau Nias sebagai pulau utama dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya. Kepulauan Nias terletak di lepas pantai pesisir barat di Samudera Hindia. Pusat pemerintahan terletak di Gunung Sitoli.
Kepulauan Batu terdiri dari 51 pulau dengan 4 pulau besar: Sibuasi, Pini, Tanahbala, Tanahmasa. Pusat pemerintahan di Pulautelo di pulau Sibuasi. Kepulauan Batu terletak di tenggara kepulauan Nias.
Pulau-pulau lain di Sumatera Utara: Imanna, Pasu, Bawa, Hamutaia, Batumakalele, Lego, Masa, Bau, Simaleh, Makole, Jake, dan Sigata, Wunga.
Di Sumatera Utara saat ini terdapat dua taman nasional, yakni Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Batang Gadis. Menurut Keputusan Menteri Kehutanan, Nomor 44 Tahun 2005, luas hutan di Sumatera Utara saat ini 3.742.120 hektare (ha). Yang terdiri dari Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam seluas 477.070 ha, Hutan Lindung 1.297.330 ha, Hutan Produksi Terbatas 879.270 ha, Hutan Produksi Tetap 1.035.690 ha dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi seluas 52.760 ha.
Namun angka ini sifatnya secara de jure saja. Sebab secara de facto, hutan yang ada tidak seluas itu lagi. Terjadi banyak kerusakan akibat perambahan dan pembalakan liar. Sejauh ini, sudah 206.000 ha lebih hutan di Sumut telah mengalami perubahan fungsi. Telah berubah menjadi lahan perkebunan, transmigrasi. Dari luas tersebut, sebanyak 163.000 ha untuk areal perkebunan dan 42.900 ha untuk areal transmigrasi.
Cikal bakal nama Provinsi Sumatera Barat dimulai pada zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), digunakan untuk sebutan wilayah administratifnya yakni Hoofdcomptoir van Sumatra's westkust. Kemudian dengan semakin menguatnya pengaruh politik dan ekonomi VOC, sampai abad ke 18 wilayah administratif ini telah mencangkup kawasan pantai barat Sumatera mulai dari Barus sampai Inderapura.
Seiring dengan kejatuhan Kerajaan Pagaruyung, dan keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, pemerintah Hindia Belanda mulai menjadikan kawasan pedalaman Minangkabau sebagai bagian dari Pax Nederlandica, kawasan yang berada dalam pengawasan Belanda, dan wilayah Minangkabau ini dibagi atas Residentie Padangsche Benedenlanden dan Residentie Padangsche Bovenlanden.
Selanjutnya dalam perkembangan administrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, daerah ini tergabung dalam Gouvernement Sumatra's Westkust termasuk wilayah Residentie Bengkulu yang baru diserahkan Inggris kepada Belanda. Kemudian diperluas lagi dengan memasukan Tapanuli, dan Singkil. Namun pada tahun 1905, wilayah Tapanuli ditingkatkan statusnya menjadi Residentie Tapanuli, sedangkan wilayah Singkil diberikan kepada Residentie Atjeh. Kemudian pada tahun 1914, Gouvernement Sumatra's Westkust, diturunkan statusnya menjadi Residentie Sumatra's Westkust, dan menambahkan wilayah Kepulauan Mentawai di Samudera Hindia ke dalam Residentie Sumatra's Westkust, serta pada tahun 1935 wilayah Kerinci juga digabungkan ke dalam Residentie Sumatra's Westkust.
Sementara wilayah Rokan Hulu dan Kuantan Singingi diberikan kepada Residentie Riouw pasca pemecahan Gouvernement Sumatra's Oostkust, serta juga membentuk Residentie Djambi pada periode yang hampir bersamaan. Pada masa pendudukan tentara Jepang, Residentie Sumatra's Westkust berubah nama menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu. Atas dasar geostrategis militer, daerah Kampar/ Bangkinang dikeluarkan dari Sumatora Nishi Kaigan Shu dan dimasukkan ke dalam wilayah Rhio Shu.
Pada awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, wilayah Sumatera Barat tergabung dalam provinsi Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Pada tahun 1949, Provinsi Sumatera kemudian dipecah menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sumatera Barat beserta Riau dan Jambi merupakan bagian dari keresidenan di dalam Provinsi Sumatera Tengah. Pada masa PRRI di Sumatera, Pemerintah Pusat berdasarkan Undang-undang darurat nomor 19 tahun 1957, Provinsi Sumatera Tengah dipecah lagi menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Jambi.
Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, digabungkan ke dalam Provinsi Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Begitu pula wilayah Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi ditetapkan masuk ke dalam wilayah Provinsi Riau. Selanjutnya ibu kota provinsi Sumatera Barat yang baru ini adalah masih tetap di Kota Bukittinggi. Namun berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mei 1958 secara de facto menetapkan Kota Padang menjadi ibu kota Provinsi Sumatera Barat.[1]
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Baratdiakses tanggal 23 April 2013
Mengenai asal nama Riau ada beberapa penafsiran. Pertama toponomi Riau berasal dari penamaan orang Portugis dengan kata rio yang berarti sungai. Kedua mungkin berasal dari tokoh Sinbad al-Bahar dalam kitab Alfu Laila Wa Laila (Seribu Satu Malam) yang menyebut riahi, yang berarti air atau laut, dan yang ketiga berasal dari penuturan masyarakat setempat, diangkat dari kata rioh atau riuh, yang berarti ramai, hiruk pikuk orang bekerja.
Berdasarkan beberapa keterangan di atas, maka nama Riau besar kemungkinan memang berasal dari penamaan rakyat setempat, yaitu orang Melayu yang hidup di daerah Bintan. Nama itu besar kemungkinan telah mulai terkenal semenjak Raja Kecik memindahkan pusat kerajaan Melayu dari Johor ke Ulu Riau pada tahun 1719. Setelah itu nama ini dipakai sebagai salah satu negeri dari empat negeri utama yang membentuk kerajaan Riau, Lingga, Johor dan Pahang.
Kemudian dengan Perjanjian London (1824) antara Belanda dengan Inggris, kerajaan ini terbelah dua. Belahan Johor - Pahang berada di bawah pengaruh Inggris, sedangkan belahan Riau - Lingga berada di bawah pengaruh Belanda. Dalam zaman penjajahan Belanda (1905 - 1942), nama Riau dipakai untuk nama sebuah keresidenan, yang daerahnya meliputi Kepulauan Riau serta pesisir Timur Sumatera bagian tengah.
Setelah Provinsi Riau terbentuk tahun 1958, maka nama itu di samping dipergunakan untuk nama sebuah kabupaten, dipergunakan pula untuk nama sebuah Provinsi yang penduduknya dewasa itu sebagian besar terdiri dari orang Melayu.
Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di rantau ini, antara lain adalah:
§ Kerajaan Inderagiri (1658-1838)
§ Kerajaan Siak (1723-1858)
§ Kerajaan Pelalawan (1530-1879)
§ Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913)
§ Kerajaan kecil lainnya, seperti Tambusai, Rantau Binuang Sakti, Rambah, Kampar dan Kandis (Rantau Kuantan).
Kata Melayu berasal dari kata Mala dan Yu. Mala artinya mula atau permulaan, sedangkan Yu artinya negeri. Melayu artinya negeri yang mula-mula ada. Pendapat ini sesuai dengan perkembangan bangsa Melayu dari daratan Asia Tenggara, pada kira-kira tahun 2000 sebelum Masehi dan 1500 sebelum Masehi yang menyebar ke seluruh Indonesia. Pendapat lain mengatakan, bangsa Melayu berasal dari kata layu yang artinya rendah. Maksudnya bangsa Melayu itu rendah hati sangat hormat kepada pemimpinnya. Istilah Melayu ini dipergunakan untuk menamakan sebuah Kemaharajaan Melayu dan Kerajaan Melayu Riau. Perkataan Melayu juga dipakai menamakan rakyat pendukung kerajaan-kerajaan tersebut sehingga terkenal sebagai suku Melayu dengan bahasa yang dipergunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu ini pada masa dahulu menjadi Lingua Franca di kawasan Asia Tenggara ini.
Riwayat Provinsi Riau
Riau dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 10 tahun 1948, tentang pembagian Sumatera dalam tiga Provinsi. Antara lain Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan Sumatera Barat, Riau dan Jambi.Keinginan rakyat Riau yang menghendaki daerah otonomi dibahas dalam berbagai kesempatan, antara lain:
17 Oktober 1954 diadakan Kongres Pemuda Riau di Pekanbaru.
7 Agustus 1955 diadakan Konperensi DPRDS I antar empat kabupaten dalam Keresidenan Riau di Bengkalis
7 September 1955 delegasi DPRDS empat Kabupaten Riau menghadap Mendagri Mr. R. Soenarjo yang menghasilkan Keterangan Nomor De/44/12/13/7 yang isinya, "Persoalan itu akan diberi perhatian seperlunja, dan pembagian wilajah R.I. dalam daerah-daerah Provinsi jang baru sedang direntjanakan."
9 September 1955 dibentuk Badan Penghubung Persiapan Provinsi Riau di Jakarta.
31 Januari s/d 2 Februari 1956 diselenggarakan Kongres Rakyat Riau. 22 Oktober 1956, pertemuan para tokoh dengan Mendagri Soenaryo. Menurut menteri, Undang-undang Pembentukan Provinsi Riau belum disiapkan, namun akan diajukan dalam Sidang Parlemen permulaan 1957.
Sidang Kabinet 1 Juli 1957 menyetujui Riau dan Jambi menjadi Provinsi.
7 Agustus 1957, Undang-undang Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi disetujui.
Sumber: [1] http://dolu-terempa.com/artikel/sejarah.htm diakses 16 April 2013
Provinsi Kepulauan Riau terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 merupakan Provinsi ke-32 di Indonesia yang mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, dan Kabupaten Lingga. Secara keseluruhan Wilayah Kepulauan Riau terdiri dari 4 Kabupaten dan 2 Kota, 42 Kecamatan serta 256 Kelurahan/Desa dengan jumlah 2.408 pulau besar dan kecil dimana 40% belum bernama dan berpenduduk. Adapun luas wilayahnya sebesar 252.601 Km2, di mana 95% - nya merupakan lautan dan hanya 5% merupakan wilayah darat.
Dengan letak geografis yang strategis (antara Laut Cina Selatan, Selat Malaka dengan Selat Karimata) serta didukung potensi alam yang sangat potensial, Provinsi Kepulauan Riau dimungkinkan untuk menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi bagi Republik Indonesia dimasa depan. Apalagi saat ini pada beberapa daerah di Kepulauan Riau (Batam, Bintan, dan Karimun) tengah diupayakan sebagai pilot project pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui kerjasama dengan Pemerintah Singapura.
Penerapan kebijakan KEK di Batam-Bintan-Karimun, merupakan bentuk kerjasama yang erat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan partisipasi dunia usaha. KEK ini nantinya merupakan simpul-simpul dari pusat kegiatan ekonomi unggulan, yang didukung baik fasilitas pelayanan prima maupun kapasitas prasarana yang berdaya saing internasional. Setiap pelaku usaha yang berlokasi di dalamnya, akan memperoleh pelayanan dan fasilitas yang mutunya dapat bersaing dengan praktik-praktik terbaik dari kawasan sejenis di Asia-Pasifik.[1]
[1]Kepriprov.go.id diakses tanggal 15 April 2013
Dengan berakhirnya masa Kesultanan Jambi, menyusul gugurnya Sultan Thaha Syaifudin pada tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai karisidenan dan masuk kedalam wilayah Nederlandsch Indie, di mana residen Jambi pertama ialah O.L Helfrich yang diangkat berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Belanda No.2 tanggal 14 Mei 1906. Kekuasaan Belanda di Jambi berlangsung selama kurang lebih 36 Tahun lamanya karena pada sekitar tahun 1942 berlangsung peralihan kekuasaan ke tangan Jepang.
Pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Sumatera menjadi sebuah provinsi dimana Medan menjadi ibukotanya dan MR Muhamad Hassan sebagai Gubernurnya. Pada tanggal 18 April 1946 Komite Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukit Tinggi memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari tiga sub Provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Dimana sub Provinsi Sumatera Tengah mencakup karisidenan Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Terjadi tarik menarik Karisidenan Jambi untuk masuk ke Sumatera Selatan dan Sumatera Tengah melalui undang-undang nomor 101 tahun 1948 ditetapkan sebagai provinsi. Menyusul UU No.61 tahun 1958 dan diteruskan pada tanggal 19 Desember 1958 Mendagri Sanoesi Hardjadinata mengangkat dan menetapkan Djamin gr. Datuk Bagindo sebagai Residen Jambi. Selanjutnya melalui peraturan daerah nomor 1 tahun 1970,lahirlah Provinsi Jambi.[1]
Sumber: [1]www.ajungantmii.com/ diakses tanggal 15 April 2013
Bengkulu (bahasa Belanda: Benkoelen atau Bengkulen, bahasa Inggris: Bencoolen, bahasa Malaysia: Bangkahulu, BahasaRejangBekuleuw/Bekulauw), terletak di bagian barat daya pulau Sumatera adalah sebuah provinsi yang terletak di Pulau Sumatera, Indonesia. Di sebelah utara berbatasan dengan Sumatera Barat, di sebelah timur dengan Jambi dan Sumatera Selatan, sedangkan di sebelah selatan denganLampung.
Di wilayah Bengkulu sekarang pernah berdiri kerajaan-kerajaan yang berdasarkan etnis seperti Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Selebar, Kerajaan Pat Petulai, Kerajaan Balai Buntar, Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sekiris, Kerajaan Gedung Agung, dan Kerajaan Marau Riang. Di bawahKesultanan Banten, mereka menjadi vazal.
Sebagian wilayah Bengkulu, juga pernah berada dibawah kekuasaan Kerajaan Inderapura semenjak abad ke-17.
British East India Company (EIC) sejak 1685 mendirikan pusat perdagangan lada Bencoolen/Coolen yang berasal dari bahasa inggris "Cut Land" yang berarti tanah patah wilayah ini adalah wilayah patahan gempa bumi yang paling aktif di dunia dan kemudian gudang penyimpanan di tempat yang sekarang menjadi Kota Bengkulu. Saat itu, ekspedisi EIC dipimpin oleh Ralph Ord dan William Cowley untuk mencari pengganti pusat perdagangan lada setelah Pelabuhan Banten jatuh ke tangan VOC, dan EIC dilarang berdagang di sana. Traktat dengan Kerajaan Selebar pada tanggal 12 Juli 1685 mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung perdagangan. Benteng York didirikan tahun 1685 di sekitar muara Sungai Serut.
Sejak 1713, dibangun benteng Marlborough (selesai 1719) yang hingga sekarang masih tegak berdiri. Namun demikian, perusahaan ini lama kelamaan menyadari tempat itu tidak menguntungkan karena tidak bisa menghasilkan lada dalam jumlah mencukupi.
Sejak dilaksanakannya Perjanjian London pada tahun 1824, Bengkulu diserahkan ke Belanda, dengan imbalan Malaka sekaligus penegasan atas kepemilikan Tumasik/Singapura dan Pulau Belitung). Sejak perjanjian itu Bengkulu menjadi bagian dari Hindia Belanda.
Penemuan deposit emas di daerah Rejang Lebong pada paruh kedua abad ke-19 menjadikan tempat itu sebagai pusat penambangan emas hingga abad ke-20. Saat ini, kegiatan penambangan komersial telah dihentikan semenjak habisnya deposit.
Pada tahun 1930-an, Bengkulu menjadi tempat pembuangan sejumlah aktivis pendukung kemerdekaan, termasuk Sukarno. Di masa inilah Sukarno berkenalan dengan Fatmawati yang kelak menjadi isterinya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bengkulu menjadi keresidenan dalam provinsi Sumatera Selatan. Baru sejak tanggal 18 November 1968ditingkatkan statusnya menjadi provinsi ke-26 (termuda sebelum Timor Timur).
Sumatera Selatan adalah salah satu Provinsi Indonesia yang terletak di bagian selatan Pulau Sumatera. Provinsi ini beribukota di Palembang. Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi di utara, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di timur, Provinsi Lampung di selatan dan Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara. Selain itu ibu kota provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena menjadi pusat Kerajinan Sriwijaya. Di samping itu, provinsi ini banyak memiliki tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Sungai Musi, Jembatan Ampera, Pulau Kemaro, Danau Ranau, Kota Pagaralam dan lain-lain. Karena sejak dahulu telah menjadi pusat perdagangan, secara tidak langsung ikut memengaruhi kebudayaan masyarakatnya. Makanan khas dari provinsi ini sangat beragam seperti pempek, model, tekwan, pindang patin, pindang tulang, sambal jokjok, berengkes dan tempoyak.
Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika. Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri China. Pada awal abad ke-15 berdirilah Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, kerajaan Sriwijaya juga menjadikan Palembang sebagai Kota Kerajaan. Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi Kota Palembang yang diperingati setiap tahunnya.[1]
[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Selatan diakses tanggal 17 April 2013
Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terutama Pulau Bangka berganti-ganti menjadi daerah taklukan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Setelah kapitulasi dengan Belanda, Kepulauan Bangka Belitung menjadi jajahan Inggris. Pada tanggal 20 Mei 1812 kekuasaan Inggris berakhir setelah konvensi London 13 Agustus 1824, terjadi peralihan kekuasaan daerah jajahan Kepulauan Bangka Belitung antara MH. Court (Inggris) dengan K. Hcyes (Belanda) di Muntok pada tanggal 10 Desember 1816. Kekuasaan Belanda mendapat perlawanan Depati Barin dan putranya Depati Amir yang dikenal sebagai perang Depati Amir (1849-1851). Kekalahan perang Depati Amir menyebabkan Depati Amir diasingkan ke Desa Air Mata Kupang, NTT.
Pada tanggal 11 Maret 1933, dibentuk Resindetil Bangka Belitung Onderhoregenheden yang dipimpin seorang residen Bangka Belitung dengan 6 Onderafdehify yang dipimpin oleh Ast. Residen. Di Pulau Bangka terdapat 5 Onderafdehify yang akhirnya menjadi 5 Karesidenan, sedangkan di Pulau Belitung terdapat 1 Karesidenan. Di zaman Jepang, Karesidenan Bangka Belitung diperintah oleh pemerintahan Militer Jepang yang disebut Bangka Beliton Ginseibu. Setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, oleh Belanda dibentuk Dewan Bangka Sementara pada tanggal 10 Desember 1946 (stbl.1946 No.38) yang selanjutnya resmi menjadi Dewan Bangka yang diketuai oleh Musarif Datuk Bandaharo Leo yang dilantik Belanda pada tanggal 11 November 1947. Dewan Bangka merupakan Lembaga Pemerintahan Otonomi Tinggi.
Pada tanggal 23 Januari 1948 (stb1.1948 No.123), Dewan Bangka, Dewan Belitung dan Dewan Riau bergabung dalam Federasi Bangka Belitung dan Riau (FABERI) yang merupakan suatu bagian dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan Keputusan Presiden RIS Nomor 141 Tahun 1950 kembali bersatu dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga berlaku undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.
Pada tanggal 22 April 1950 oleh Pemerintah diserahkan wilayah Bangka Belitung kepada Gubernur Sumatera Selatan Dr. Mohd. lsa yang disaksikan oleh Perdana Menteri Dr. Hakim dan Dewan Bangka Belitung dibubarkan. Sebagai Residen Bangka Belitung ditunjuk R. Soemardja yang berkedudukan di Pangkalpinang. Berdasarkan UUDS 1950 dan UU Nomor 22 Tahun 1948 dan UU Darurat Nomor 4 tanggal 16 November 1956 Karesidenan Bangka Belitung berada di Sumatera Selatan yaitu Kabupaten Bangka dan dibentuk juga kota kecil Pangkalpinang. Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1957 Pangkalpinang menjadi Kota Praja. Pada tanggal 13 Mei 1971 Presiden Soeharto meresmikan Sungai Liat sebagai ibukota Kabupaten Bangka.
Berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2000 wilayah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka dan Kabupaten Belitung menjadi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dengan Pejabat Gubernur pertama Drs Amur Muhasyim SH dsn Ketua DPRD pertama H. Emron Pangkapi. Selanjutnya sejak tanggal 27 Januari 2003 Provinsi Kepualauan Bangka Belitung mengalami pemekaran wilayah dengan menambah 4 Kabupaten baru yaitu Kabupaten Bangka Barat, Bangka Tengah, Belitung Timur dan Bangka Selatan.[1]
Sumber: [1]http://id.wikipedia.org/. Diakses tanggal 11 April 2013.
Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Karesidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan. Meskipun Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 maret 1964 tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukkan potensi yang sangat besar serta corak warna kebudayaan tersendiri yang dapat menambah khasanah adat budaya di Nusantara yang tercinta ini. Oleh karena itu pada zaman VOC daerah Lampung tidak terlepas dari incaran penjajahan Belanda.
Pada tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan armada VOC dan Banten membuang jauh di Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh Vander Schuur dengan membawa surat mandat dari Sultan Haji dan ia mewakili Sultan Banten. Ekspedisi Vander Schuur yang pertama ini ternyata tidak berhasil dan ia tidak mendapatkan lada yag dicari-carinya. Agaknya perdagangan langsung antara VOC dengan Lampung yang dirintisnya mengalami kegagalan, karena ternyata tidak semua penguasa di Lampung langsung tunduk begitu saja kepada kekuasaan Sultan Haji yang bersekutu dengan kompeni, tetapi banyak yang masih mengakui Sultan Agung Tirtayasa sebagai Sultan Banten dan menganggap kompeni tetap sebagai musuh.
Sedangkan penguasa-penguasa Lampung asli yang terpencar-pencar pada tiap-tiap desa atau kota yang disebut "Adipati" secara hirarkis tidak berada dibawah koordinasi penguasaan Jenang/ Gubernur. Jadi penguasaan Sultan Banten atas Lampung adalah dalam hal garis pantai saja dalam rangka menguasai monopoli arus keluarnya hasil-hasil bumi terutama lada, dengan demikian jelas hubungan Banten-Lampung adalah dalam hubungan saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya pada masa Raffles berkuasa pada tahun 1811 ia menduduki daerah Semangka dan tidak mau melepaskan daerah Lampung kepada Belanda karena Raffles beranggapan bahwa Lampung bukanlah jajahan Belanda. Namun setelah Raffles meninggalkan Lampung baru kemudian tahun 1829 ditunjuk Residen Belanda untuk Lampung.
Sejak tahun 1817 posisi Radin Inten semakin kuat, dan oleh karena itu Belanda merasa khawatir dan mengirimkan ekspedisi kecil di pimpin oleh Assisten Residen Krusemen yang menghasilkan persetujuan bahwa :
Radin Inten memperoleh bantuan keuangan dari Belanda sebesar f. 1.200 setahun.
Kedua saudara Radin Inten masing-masing akan memperoleh bantuan pula sebesar f. 600 tiap tahun.
Radin Inten tidak diperkenankan meluaskan lagi wilayah selain dari desa-desa yang sampai saat itu berada dibawah pengaruhnya.
Tetapi persetujuan itu tidak pernah dipatuhi oleh Radin Inten dan ia tetap melakukan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda. Oleh karena itu pada tahun 1825 Belanda memerintahkan Leliever untuk menangkap Radin Inten, namun dengan cerdik Radin Inten dapat menyerbu benteng Belanda dan membunuh Liliever dan anak buahnya. Akan tetapi karena pada saat itu Belanda sedang menghadapi perang Diponegoro (1825 - 1830), maka Belanda tidak dapat berbuat apa-apa terhadap peristiwa itu. Tahun 1825 Radin Inten meninggal dunia dan digantikan oleh Putranya Radin Imba Kusuma.
Saat itu rakyat dipedalaman tetap melakukan perlawanan, "Jalan Halus" dari Belanda dengan memberikan hadiah-hadiah kepada pemimpin-pemimpin perlawanan rakyat Lampung ternyata tidak membawa hasil. Belanda tetap merasa tidak aman, sehingga Belanda membentuk tentara sewaan yang terdiri dari orang-orang Lampung sendiri untuk melindungi kepentingan-kepentingan Belanda di daerah Teluk betung dan sekitarnya. Perlawanan rakyat yang digerakkan oleh putra Radin Imba Kusuma sendiri yang bernama Radin Inten II tetap berlangsung terus, sampai akhirnya Radin Inten II ini ditangkap dan dibunuh oleh tentara-tentara Belanda yang khusus didatangkan dari Batavia.
Sejak itu Belanda mulai leluasa menancapkan kakinya di daerah Lampung. Perkebunan mulai dikembangkan yaitu penanaman kaitsyuk, tembakau, kopi, karet dan kelapa sawit. Untuk kepentingan-kepentingan pengangkutan hasil-hasil perkebunan itu maka tahun 1913 dibangun jalan kereta api dari Teluk betung menuju Palembang. Hingga menjelang Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 dan periode perjuangan fisik setelah itu, putra Lampung tidak ketinggalan ikut terlibat dan merasakan betapa pahitnya perjuangan melawan penindasan penjajah yang silih berganti.
Sehingga pada akhirnya sebagai mana dikemukakan pada awal uraian ini pada tahun 1964 Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I Provinsi Lampung. Kejayaan Lampung sebagai sumber lada hitam pun mengilhami para senimannya sehingga tercipta lagu Tanoh Lada. Bahkan, ketika Lampung diresmikan menjadi provinsi pada 18 Maret 1964, lada hitam menjadi salah satu bagian lambang daerah itu. Namun, sayang saat ini kejayaan tersebut telah pudar.[1]
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Lampung (diakses tanggal 23 April 2013)
Provinsi Bali dibentuk tanggal 14 Agustus 1958. Pembentukannya ditetapkan dengan undang-undang, yaitu, Undang-Undang nomor 64 tahun 1958. Ketika itu ibukotanya adalah Singaraja dan pada tahun 1960 dipindah ke Denpasar.Pada tahun 1343, Pulau Bali dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Gajah Mada atas nama Kerajaan Majapahit menugaskan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan menjadi raja di Bali. Dia kemudian menghadapi pemberontakan rakyat "Baliaga". Mereka kebanyakan berasal dari desa-desa di pegunungan Kabupaten Bangli dan Karangasem. Berkat dorongan moral dari Gajah Mada, raja Bali dapat menumpas
Pada tahun 1597, Bali mulai berhubungan dengan Belanda. Ekspedisi pertama Belanda pada tahun tersebut dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Hubungan Bali dan Belanda tidak intensif sampai abad ke 19. Pada tahun 1686, muncul kerajaan baru , yaitu, Kerajaan Klungkung. Selain kerajaan tersebut, bermunculan pula kerajaan-kerajaan lain, seperti Kerajaan Buleleng, Mengwi, Karangasem, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Jembrana, dan Payangan. Setelah Klungkung berdiri, raja memakai gelar "Dewa Agung". Ada juga yang memakai gelar lain, misalnya, di Kerajaan Buleleng dipakai gelar I Gusti Ngurah Panji Sakti, I Gusti Ngurah Panji Gde, di Kerajaan Mengwi dipakai gelar I Gusti Agung Sakti, dan di Kerajaan Gianyar dipakai gelar I Dewa. Sedangkan para pembantu raja disebut mantri dan bergelar Rakryan.
Pada abad ke 19, di Bali terdapat 10 buah kerajaan. Banyak kerajaan di Bali yang memiliki hubungan satu sama lain dengan hubungan kekeluargaan, seperti antara Kerajaan Klungkung dengan Kerajaan Badung. Struktur pemerintahan di Bali pada abad ke 19 ini mendekati struktur konfederasi. Kerajaan Klungkung mempunyai status lebih tinggi meskipun tidak memiliki kekuasaan secara formal. Sembilan kerajaan lainnya, yaitu, Karangasem, Buleleng, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan, Mengwi, Jembrana dan Payangan masih tetap mengakui status yang lebih tinggi dari Klungkung.
Pada tahun 1817, Belanda mengirim rombongan di bawah pimpinan Van den Broek untuk mendirikan sebuah pangkalan dagang di Bali. Namun usaha tersebut gagal karena ditentang oleh raja-raja Bali. Sampai berakhirnya perang Diponegoro di Jawa tahun 1830, hubungan raja-raja Bali dengan orang eropa hanya berkisar pada perdagangan. Keadaan hubungan baru mengalami perubahan setelah tahun 1841. Huskus Koopman yang diutus pemerintah Belanda berhasil mengadakan perundingan dengan raja-raja Bali. Sejak saat itu, Belanda sedikit demi sedikit mengurangi kekuasaan raja-raja Bali dengan jalan mengadakan perjanjian-perjanjian. Setelah melalui proses yang panjang, pada tahun 1908 Belanda dapat menguasai Bali. Kerajaan Klungkung merupakan kerajaan berdaulat terakhir yang mengadakan puputan melawan Belanda.
Tahun 1930 merupakan babak baru karena merupakan permulaan pergerakan kebangsaan di Bali. Organisasi kebangsaan pertama yang membuka cabangnya di Bali adalah Budi Utomo. Penyebarannya terutama pada golongan intelektual. Tanggal 9 September 1933 berdiri Komite Taman Siswa di Denpasar.Jepang mendarat di Bali tanggal 17 Februari 1942. Di era penjajahan Jepang ini, perkembangan organisasi-organisasi politik terhenti. Jepang melarang dan membubarkan berbagai organisasi politik. Keadaan penduduk semakin lama semakin menderita. Hal ini karena Jepang mengerahkan segenap penduduk untuk mendukung perang. Banyak penduduk yang dijadikan romusha dan harta bendanya dirampas. Kondisi tersebut berlangsung sampai Jepang menyerah kepada sekutu dan dilanjutkan dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.Pada awal kemerdekaan, Bali termasuk ke dalam provinsi Sunda Kecil. Sewaktu era negara serikat, Bali termasuk ke dalam Negara Indonesia Timur (NIT). Setelah Indonesia kembali menjadi negara Kesatuan, Bali kembali menjadi bagian dari Republik Indonesia dan pada tahun 1958 Pulau Bali menjadi berstatus Provinsi.[1]
[1] http://www.balihub.com/blog/view_entry/393(diakses tanggal 23 April 2013)
Nusa Tenggara Barat adalah sebuah Provinsi di Indonesia. Sesuai dengan namanya, provinsi ini meliputi bagian barat Kepulauan Nusa Tenggara. Dua pulau terbesar di provinsi ini adalah Lombok yang terletak di barat dan Sumbawa yang terletak di timur. Ibu kota provinsi ini adalah Kota Mataram yang berada di Pulau Lombok. Sebagian besar dari penduduk Lombok berasal dari suku sasak, sementara suku bima dan Sumbawa merupakan kelompok etnis terbesar di Pulau Sumbawa. Mayoritas penduduk Nusa Tenggara Barat beragama Islam (96%). Tidak banyak orang mengetahui tentang sejarah umum Nusa Tenggara Barat. Selama abad ke-17 Belanda menduduki wilayah ini. Masyarakat Nusa Tenggara Barat masih hidup seperti nenek moyangnya dengan memancing dan berladang. Nusa Tenggara Barat mulai terkenal ketika Pulau Komodo dan sekitarnya mulai banyak dikunjungi. Saat ini Nusa Tenggara Barat dikenal sebagai tempat yang eksotik untuk berwisata, terutama Lombok dan Pulau Komodo.
Di Pulau Lombok, Kerajaan Sasak menguasai wilayah ini hingga orang Bali dan Makasar menyerang Lombok. Pertengahan abad ke-18, Kerajaan Bali memerintah wilayah ini, sedangkan Belanda menguasainya wilayah ini pada abad ke-19. Setelah kemerdekaan Indonesia, Lombok dikuasai oleh bangsawan Sasak yang kebanyakan orang muslim dan orang Bali yang beragama Hindu.
Alfred Russell Wallace pada abad ke-19 menandai wilayah transisi flora fauna yang ada di Barat dan Timur Indonesia dengan nama Garis Wallace. Garis ini berperan sebagai batas Barat Nusa Tenggara Barat yang meliputi Pulau Lombok dan Sumbawa. Di bagian Utara Nusa Tenggara Barat wilayahnya bergunung-gunung dan dipenuhi oleh pepohonan tinggi yang lebat dan semak-semak. Sedangkan di bagian selatan, wilayahnya gersang dan dipenuhi oleh padang rumput. Nusa Tenggara Barat tidak memiliki hewan mamalia Asia, tapi memiliki hewan berkantung, kadal, burung kakatua dan nuri. Perbedaan tersebut menjadi lebih nyata di bagian lebih Timur, dimana musim kemaraunya lebih panjang, sagu dan jagung menjadi makanan pokok masyarakat Nusa Tenggara Barat dan bukan beras.[1]
[1]http://www.indonesia.travel/id/discover-indonesia/region-detail/36/nusa-tenggara-barat diakses tanggal 19 April 2013
Pada Zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Pulau Sumbawa, Flores, Sumba, Timor dan Kepulauannya merupakan satu kesatuan wilayah administratif, yang waktu itu disebut Keresidenan Timor. Konstelasi Pemerintahan yang dianut Pemerintah Hindia Belanda sesuai dengan landasan politik yang bertujuan untuk menjamin kepentingan penjajah ialah tetap mengakui kedaulatan Swapraja dibawah pimpinan Raja-raja, yang seluruhnya berjumlah 48 Swapraja. Hal tersebut diatur dalam perjanjian politik yang dikenal dengan Korte Verklaring. Dengan demikian hubungan antara raja-raja dengan Pemerintahan Hindia Belanda seolah-olah berada dalam kedudukan yang sama. Namun dalam kenyataannya, politik ini jelas hanya menguntungkan Pemerintah Kolonial.
Dengan Undang-Undang NIT Nomor 44 Tahun 1950 buatan Hindia Belanda, Federasi Swapraja diberi status daerah yang berhak menyelenggarakan Rumah Tangganya sendiri sehingga masing-masing Swapraja yang ada di Daerah Flores, Sumba, Timor dan Kepulauannya merupakan bagian dari daerah itu; namun dipihak lain berlaku pula Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948, sehingga terjadi Dualisme pelaksanaan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Undang-Undang ini, DPRD yang ada berjalan terus dengan ketentuan bahwa tugas legislatif sepenuhnya dipegang oleh Dewan Pemerintah Harian, sedangkan Dewan Raja-Raja dihapus karena tidak sesuai dengan aspirasi politik saat itu dimana bentuk Negara Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan.
Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 dibentuk Provinsi Administrasi Sunda Kecil yang meliputi 6 (enam) Daerah termasuk Flores, Sumba, Timor dan Kepulauannya yang dengan Undang-Undang Darurat Nomor 9 tahun 1954 (Lembaran negara Tahun 1954 Nomor 66) Nama Sunda Kecil diganti dengan Nusa Tenggara.
Nusa Tenggara Timur terdiri dari pulau-pulau yang memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar belakang yang berbeda-beda. Sampai dengan tahun 1957 Kepulauan Nusa Tenggara merupakan daerah Swatantra Tingkat I. Selanjutnya tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 tahun 1958 Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara dikembangkan menjadi 3 Provinsi yaitu Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian Provinsi Nusa Tenggara Timur keberadaannya adalah sejak tahun 1958 sampai sekarang.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTT Nomor Pem. 66/1/35, Tanggal 5 Juni 1962 dibentuk 64 Kecamatan di Provinsi NTT termasuk 6 (enam) Kecamatan di Kabupaten Sumba Timur, suatu indikasi ke arah penghapusan Swapraja secara bertahap.
Sumber: http://sejarahbangsaindonesia.blogdetik.com/
Berikut adalah tabel potensi industri dan perdagangan dari setiap kabupaten di provinsi Sumatera Utara yang dapat dijadikan sebagai referensi dalam mempertimbangkan peluang investasi pada sektor terkait.
Secara opsional anda dapat memasukkan operator perbandingan (<, <=, >, >=, <>
atau =) pada awal setiap nilai pencarian Anda untuk menentukan bagaimana perbandingan harus dilakukan.
Anda dapat mengurutkan nilai dalam setiap kolom tabel dengan mengklik judul (header) dari kolom terkait.